Minggu, 21 Agustus 2011

Codex Alimentarius selesai 2012 – Rencana meracuni makanan Pengurangan Populasi Dunia


Begitu banyak fakta-fakta konspirasi dan ketidakadilan menyangkut PBB. Namun ada satu konspirasi PBB yang luput dari perhatian khalayak ramai yakni tentang rencana Konspirasi untuk mengurangi populasi dunia sehingga dunia ini hanya dihuni oleh 500 juta manusia. Hal ini berarti pengurangan sekitar 93% penduduk dunia.
PBB
Hal tersebut berangkat dari pemikiran bahwa dunia dengan segala kekayaan alamnya, dengan seluruh ekosistemnya, rantai makanannya, serta sistem alamiah yang ada, tidak akan sanggup untuk menopang kehidupan umat manusia sebanyak sekarang—sekitar 6 miliar orang—dengan baik. Untuk menciptakan satu dunia yang lebih baik, maka diperlukan pengurangan jumlah populasi umat manusia sebanyak 93%-nya atau dunia ini hanya mampu untuk menopang kehidupan 500 juta manusia.
Yang unik, Desember 2012 merupakan waku yang ditentukan oleh pihak Konspirasi untuk memulai program ini secara besar-besaran. Belum ada satu pun pihak yang mengetahui secara pasti mengapa Konspirasi mematok awal program yang akan mengurangi jumlah umat manusia secara drastis ini pada Desember 2012.
Bagaimana caranya?
Salah satu forum internasional yang membahas masalah ini adalah pertemuan National Association of Nutrition Professional (NANP- 2005 Conference). Dalam presentasinya yang berjudul “Codex and Nutricide’, Dr. Rima Laibow dari Natural Solutions Foundation (bisa dilihat di http://www.healthfreedomusa.org/)
mengatakan, “…mereka yang menguasai makanan akan menguasai dunia… Mereka telah mengatakan pada tahun 1962 bahwa Proyek Codex Alimentarius (http://www.codexalimentarius.net/web/index_en.jsp) secara global akan diimplementasikan pada 31 Desember 2009. Ini merupakan semacam cetak biru. Proyek Dunia ini diarahkan oleh WHO dan FAO, dua lembaga dunia di bawah PBB yang membidangi masalah kesehatan dan pangan…”
Dalam ceramahnya, Dr. Laibow tiba-tiba menyuruh para hadirin untuk diam dan mengencangkan ikat pinggang. Dia kemudian berkata, “Di tahun 1994, diam-diam, tanpa sepengetahuan masyarakat luas Amerika, Codex menyatakan bahwa Gizi adalah racun, yang berarti berbahaya dan harus dihindari. Di bawah ketentuan Codex, semua sapi perah di muka bumi ini WAJIB diinjeksi dengan hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh satu-satunya perusahaan yakni Monsanto. Dan lebih jauh lagi, semua hewan ternak yang digunakan sebagai bahan makanan di planet ini harus disusupkan bahan anti biotik khusus dan hormon pertumbuhan buatan.”

Dr. Laibow melanjutkan, “Menurut perhitungan WHO dan FAO, jika proyek mereka ini terus berjalan tanpa hambatan berarti, WHO dan FAO memproyeksikan—ini terdapat dalam panduan mineral dan vitamin mereka—ketika diimplementasikan pada 31 Desember 2009, maka akan berdampak pada minimum kematian sekitar 3 miliar jiwa. Satu miliar lewat kematian secara langsung, mereka ini adalah orang-orang yang gagal di mata para korporasi dunia dan sisanya, 2 miliar jiwa, akan menemui kematian akibat penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah, yakni kurang gizi.”
Lantas, siapa yang akan tetap hidup—dalam bahasa Darwin, “Survival of the fittest”? Dr. Laibow berkata, “Hanya mereka yang kaya, yang mampu menyuplai gizi dan vitamin dalam makanan mereka yang akan tetap bisa hidup.”
Mereka akan mengurangi populasi dunia dengan cara:
Proyek Codex Alimentarius (http://www.codexalimentarius.net/web/index_en.jsp) secara global akan diimplementasikan pada 31 Desember 2009
Di bawah ketentuan Codex,
- semua sapi perah di muka bumi ini WAJIB diinjeksi dengan hormon pertumbuhan
- semua hewan ternak yang digunakan sebagai bahan makanan di planet ini harus disusupkan bahan anti biotik khusus dan hormon pertumbuhan buatan.
Mereka akan menggunakan propaganda bahwa codex tdk berbahaya… tp justru sbg “costumer protection”. Lalu bagi negara yg menolak utk menerapkan codex di negaranya, akan dikenakan sanksi ekonomi dr WTO…
“Started in 1962 by UN, Imposed by WTO Sanctions
Codex Alimentarius was created in 1962 as a trade Commission by the UN to control the international trade of food. Its initial intentions may have been altruistic but it has been taken over by corporate interests, most notably the pharmaceutical, pesticide, biotechnology and chemical industries.
Codex Alimentarius is backed up by the crippling trade sanctions of the World Trade Organization (WTO). Any non Codex-compliant nation would face huge economic punishment since they would automatically lose in any food-trade dispute with a Codex compliant country”.
Hasilnya:
Minimum kematian sekitar 3 miliar jiwa dgn rincian sbb:
–>Satu miliar lewat kematian secara langsung, mereka ini adalah orang-orang yang gagal di mata para korporasi dunia (maksudnya orang2 yang kurang mampu/ miskin)
–>2 miliar jiwa sisanya, akan menemui kematian akibat penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah, yakni kurang gizi
Bagaimana hal ini akan dilaksanakan di Indonesia?
Melalui perusahaan yang bernama “Monsanto” (http://www.monsanto.com/default.asp)
 

Rabu, 17 Agustus 2011

Peneliti IPB menemukan bakteri berbahaya dalam susu formula. Pemerintah belum mau umumkan”.


 

VIVAnews –Lelaki itu tersentak saat mendengar hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang susu formula. Itu terjadi dua tahun silam, pada 2008, saat sejumlah sampel susu olahan bagi bayi itu dilaporkan mengandung bakteri berbahaya, Enterobacter sakazakii.
Tak ada informasi lebih jauh dari lembaga akademik itu. Misalnya soal merek susu apa saja yang tercemar bakteri.
Lelaki itu David Tobing, seorang pengacara. Dia beranak dua, balita yang sedang bertumbuh, dan rajin minum susu formula. Penelitian itu jelas memberi tahu bahwa ada bahaya dalam kaleng susu formula. Merasa ada informasi yang ditutupi, dia pun melayangkan gugatan.
David lalu menggugat Menteri Kesehatan ke pengadilan. Selain menteri, dia turut menggugat sejumlah pihak lain. Berurutan yang menjadi tergugat adalah IPB, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Semua pihak itu diminta membuka susu formula mengandung bakteri.
Alasan gugatan David sederhana. Sebagai orang tua yang punya anak minum susu formula, dia berhak tahu produk susu mana yang aman dikonsumsi. Apalagi, IPB telah memuat di laman website mereka pada 17 Februari 2008 tentang adanya susu yang tercemar bakteri itu.
Penelitian IPB itu diketuai oleh Dr. Sri Estuningsih. Kesimpulannya mengejutkan. Di Indonesia terdapat susu formula, dan makanan bayi tercemar Enterobacter Sakazakii. Ini bakteri berbahaya. Mikroba itu, kata Estu, menghasilkan enterotoksin tahan panas.  Bakteri itu menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada model anak mencit neonatus (anak tikus).[Lihat infografik Dicekam Susu Berbakteri]
Permohonan David Tobing itu pun dikabulkan sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui putusan tertanggal 20 Agustus 2008, majelis hakim menyatakan Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Penelitian itu sebetulnya telah dilakukan Dr Sri Estuningsih sejak 2003. [Baca juga Bertemu “Si Jahat” E. Sakazakii]. Dalam penelitiannya bertajuk “Microbiological Quality of Infant Foods in Indonesia, with special emphasis on Shigella sp., and Other Pathogenic Enterobacteriaceae” menyebutkan 12 dari 74 sampel MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) tercemar E. sakazakii.
Tak berhenti di situ. Sri Estuningsih kembali meneliti pada 2006. Dalam risalah hasil penelitian bertajuk “E. sakazakii and Enterobacteriaceae in Powdered Infant Formula and Follow on Formula”, dia juga menemukan bakteri itu.
Bahkan, temuan penelitian 2006 itu dikuatkan oleh Dr. Heinz Baker, dari Laboratory Food Microbiology, Maxmillan University Munich, Jerman, dan Dr. Steven J. Forsythe, Lab. Microbiology and Food Technology Nottingham Trent University. Mereka sepakat semua isolat dalam penelitian Dr Sri Estuningsih terbukti E. Sakazakii.
***
David Tobing menang. Meski sebagian, permohonannya itu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dua tahun silam. Melalui putusan pada 20 Agustus 2008, majelis hakim menyatakan Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hukuman bagi para tergugat, kata putusan itu, adalah secara bersama mengumumkan hasil penelitian itu. Nama dan jenis susu formula yang tercemar Enterobacter Sakazakii, harus dibuka di media massa, baik cetak maupun elektronik. Pengadilan juga menghukum para tergugat biaya perkara sebesar Rp414.000.
Para tergugat lalu banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, lagi David menang. Vonis dari pengadilan Jakarta Pusat justru dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, pada 06 April 2009.
Tak puas atas putusan itu, Menteri Kesehatan lalu mengajukan kasasi. Namun, upaya mereka kembali gagal. Putusan Mahkamah Agung menolak permohonan IPB, BPOM, dan Menteri Kesehatan. Para tergugat malah dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp500.000.
Yang menarik adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung. Masyarakat, kata majelis kasasi itu, bisa resah dengan tidak diumumkannya penelitian itu. Konsumen susu formula bisa rugi.  Penelitian menyangkut kepentingan publik harus dibuka, agar masyarakat waspada. Tak membuka hasil penelitian jenis itu, kata Mahkamah, adalah tindakan tak hati-hati dalam melayani publik.
Meski sudah diputus sejak April 2010 lalu, putusan itu baru diketahui David Tobing pada awal 2011. David pun meminta Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM segera mengumumkan susu formula yang mengandung bakteri.
Tapi, cerita tak berhenti di situ.
***
Meski sudah mengantongi keputusan pengadilan, permintaan David ditolak Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Menteri Kesehatan mengaku tak tahu hasil penelitian tim IPB pada 2008 itu. Demikian Endang menyatakan kepada wartawan pada 10 Februari 2011.
Alasan menteri, IPB sebagai universitas independen tak wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Kementerian Kesehatan. Sementara, IPB juga menolak mengumumkan,  dengan alasan belum resmi menerima surat keputusan Mahkamah Agung.
Menteri Endang menambahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meneliti secara berkala, dan menjamin produk susu formula di pasaran bebas bakteri itu. Artinya, susu formula di pasar aman dikonsumsi.
“Yang penting sekarang kalau bayi usia 0-6 bulan dikasih ASI. Kalau nggak bisa memberi ASI, pakai susu formula tak masalah. Asalkan airnya direbus matang,” ujar  Menteri Kesehatan, pada satu kesempatan, Ahad 13 Februari 2011.
Persoalan pun bergulir ke Senayan. Keengganan Endang lalu jadi sorotan anggota parlemen di sana. Komisi Kesehatan DPR RI lalu memanggil Menteri Kesehatan, agar hadir pada rapat dengar pendapat dengan anggota Dewan,  Kamis 17 Februari 2011.
Dalam rapat muncullah pengakuan dari IPB. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, I Wayan Teguh Wibawan, menyatakan apa yang dilakukan peneliti saat itu ialah, peneliti menyampaikan temuan itu pada produsen. “(Mereka) berkomunikasi,” ujarnya.
Menurutnya, pada 2007, peneliti sudah diminta presentasi di perusahaan itu. Peneliti secara kooperatif juga bertukar info dengan BPOM. “Kami senang BPOM merespon. Pada tahun 2008, saat BPOM mengambil sampel, IPB pun kembali melakukannya pada tahun 2009.”
Wibawan melanjutkan, bahwa penelitian itu adalah untuk mengisolasi. “Bukan untuk mensurvei (susu formula),” ujarnya. Hasil penelitian menemukan, 5 dari 22 sampel susu formula positif bakteri E. sakazakii, dan 7 dari 15 sampel makanan bayi positif E. sakazakii.
Kasus itu, kata Wibawan, menarik perhatian publik karena peneliti IPB wajib mempresentasikan hasil penelitian mereka. Itu sebabnya, oleh lembaga penelitian, abstraknya dimuat di website IPB. “Itulah yang bisa diakses oleh publik, dan kemudian mendapat perhatian,” ujarnya.
Penelitian itu rupanya berlanjut. Yang menarik, penelitian pada 2009 menelisik kembali susu formula yang dulu positif tercemar E. sakazakii. Ternyata susu yang tadinya tercemar,  menurut hasil penelitian, sudah bebas dari bakteri itu.
Sebagai catatan, seperti dikatakan BPOM dalam dengar pendapat itu, sampai Juni 2008, belum ada keharusan bagi susu formula untuk bebas E. sakazakii.
Kepala BPOM, Kustantinah, sudah mengambil langkah antisipasi atas penelitian IPB itu. Pada Maret 2008, badan itu menguji sampel 96 jenis susu formula terdaftar. Hasilnya, tak satu pun mengandung E. sakazakii.
“Maret 2008 belum ada persyaratan yang berlaku secara nasional atau internasional, bahwa susu formula bayi tak boleh ada E.sakazakii,” ujar Kustantinah. Codec sebagai standar internasional pangan, baru menetapkan larangan E. sakazakii pada Juli 2008.
Baru pada 2009, Indonesia mengeluarkan aturan susu bayi tak boleh mengandung E. sakazakii dan zero cemaran mikroba. Sebelum peraturan baru ini, di Indonesia batas maksimal cemaran hanya 4 mikroba.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Herry Suhardiyanto, membela pernyataan Wibawan. Menurutnya, penelitian itu dalam rangka pengawasan keamanan pangan. “Untuk mengungkap merek susu formula yang aman atau tidak, bukanlah kewenangan IPB. Itu kewenangan BPOM,” ujar Herry kepada VIVAnews.com.
Herry juga menghargai aksi antisipasi BPOM, yang segera melakukan pengawasan setelah hasil penelitian IPB dipublikasikan. Dia juga mengajak masyarakat percaya pada hasil penelitian Badan Pengawas itu. Bahwa, sejak 2008, tak ditemukan lagi susu tercemar E. Sakazakii.
Lalu mengapa IPB menolak membuka merek susu formula itu kepada publik?
Sang peneliti, Dr Sri Estuningsih mengatakan, penelitiannya bukan ditujukan menguji merek susu formula, dan makanan bayi yang mana saja tercemar. Melainkan, memperbaiki standar mutu pangan, dan cara praktis pencegahan bakteri itu.
Dengan kata lain, penelitian Sri, bukanlah penelitian pengawasan sebagaimana kewenangan BPOM. Tapi melainkan penelitian isolasi yang bertujuan mempelajari virulensi, dan risiko yang ditimbulkan dari E. Sakazakii.
Dalam soal menghadapi gugatan hukum itu, IPB tampaknya masuk dalam dilema etika akademik.  “Di satu sisi, kami harus menjunjung tinggi etika akademik. Di sisi lain, harus patuh hukum,” ujar Rektor IPB Herry Suhardiyanto.
***
Ketegangan dilematis itu tampaknya belum berakhir. Satu lembaga masyarakat, Sahabat Muslim, melaporkan Menteri Kesehatan, IPB dan BPOM ke Mabes Polri. Masih di poros soal yang sama, ketiga lembaga publik itu digugat karena enggan membuka merek susu yang tercemar bakteri.
LSM yang berkantor di Jakarta Timur itu, menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik, menekan ketiga lembaga publik itu segera membuka produsen merek susu yang tercemar. Di kantornya yang sederhana, LSM ini bahkan membuka posko pengaduan korban susu formula berbakteri Enterobacter sakazakii.
Seperti diungkap Ketua Sahabat Muslim, Muhammad HS, mereka bergerak karena kesal pejabat publik berkeras tak mau terbuka. “Alasannya klasik, yaitu belum menerima putusan kasasi Mahkamah Agung. Padahal putusan itu sudah setahun lalu,” ujarnya.
***
Kini, bola kembali ke kaki David Tobing.
Salinan putusan Mahkamah Agung itu telah ada di Pengadilan Jakarta Pusat. Menurut juru bicara pengadilan itu, Suwidya, salinan putusan sudah mereka terima pada Jumat 18 Februari 2011. “Kami akan meminta kepada pihak terkait untuk mengambil salinan putusan,” jelasnya.
Soal eksekusi keputusan itu, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, semuanya tergantung David Tobing, selaku penggugat pertama. “Kalau dia tidak mengajukan permohonan eksekusi, ya tidak ada eksekusi,” kata Nurhadi.
Lalu, apa kata David? Dia meminta Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengumumkan secara terbuka merek susu formula berbakteri. Rencananya Senin pekan depan, Menteri Kesehatan dan Rektor IPB akan kembali dipanggil DPR.
Artinya, jika Menteri Endang mengumumkannya, maka tak perlu ada eksekusi paksa. “Kalau mereka tidak mau mengumumkan, saya akan ambil langkah hukum,” ujarnya. (Laporan Ayatullah Humaini, Bogor|np) ( Sumber )

Daftar 59 Produk Susu yang mengandung Bakteri Berbahaya


Februari 25, 2011 |  Tagged , , |
Indonesian hot news kali ini mau membagi informasi yang diperoleh dari forum sebelah, data ini menurut forum sebelah telah dipublish oleh Departemen kesehatan. Akhir-akhir ini kita sering mendengar polemik bahwa sebagian Produk susu yang ada di Indonesia mengandung bakteri berbahaya.
Saya akan membagi daftar produk susu tersebut untuk pembaca sekalian, semoga bermanfaat, ini dia susu yang mengandung bakteri berbahaya.
1. Frisian Flag Susu Bubuk Full Cream
2. Kompleta Susu Kental Manis
3. Calcimex Susu Rendah Lemak
4. Dutch Lady Susu Cair
5. Susu Bendera 123 Susu Pertumbuhan
6. Susu Bendera Yes! Susu Cair
7. Susu Bendera SKM Susu Kental Manis
8. Enaak Susu Kental Manis
9. Indomilk Susu Kental Manis
10. Indomilk Susu Pasteurisasi
11. Indomilk Susu Evaporasi
12. Kremer Krim Kental Manis
13. Tiga Sapi Krim Kental Manis
14. Tiga Sapi Susu Bubuk
15. Sustagen Susu Bubuk
16. Enfapro Susu Formula Lanjutan
17. Enfragrow Susu Pertumbuhan
18. Enfamil Susu Bayi
19. Bebelac 1 Susu Bayi
20. Bebelac 2 Susu Formula Lanjutan
21. Delilac Susu Pertumbuhan
22. Tropicana Slim Susu Bubuk
23. Nutrifood Susu Bubuk Instan
24. Nutrifood WRP Susu
25. Promina Susu Bubuk
26. Sun Susu Bubuk
27. SMA Susu Bayi
28. S-26 Susu Bayi
29. Promil Susu Formula Lanjutan
30. Procal Susu Pertumbuhan
31. Enercal Susu
32. Nursoy Susu Formula Khusus
33. Bear Brand Susu Steril Cair
34. Cap Nona Susu Kental Manis
35. Cap Nona Susu Evaporasi
36. Carnation Susu Bubuk
37. Carnation Susu Evaporasi Cair
38. Dancow Susu Bubuk
39. Dancow Susu Beraroma
40. Dancow Balita Susu Pertumbuhan
41. Lactogen 1 Susu Bayi
42. Lactogen 2 Susu Formula Lanjutan
43. Milkmaid Susu
44. Anlene Susu Bubuk
45. Nan Susu Bayi
46. Anchor Susu Bubuk Full Cream
47. Birch Tree Susu Beraroma
48. Dumes Mames Susu Bayi
49. FMC Powder Susu Bubuk Full Cream
50. Indokilin Susu Bubuk Full Cream
51. Kilimas Susu Beraroma
52. LLM Susu Formula Khusus
53. Milco Susu Beraroma
54. Nini Susu Bayi
55. Sari Husada Susu Bubuk Full Cream
56. SGM Susu Bayi
57. Vitalac Susu Bayi
58. Ultramilk Susu UHT.
59. GainPlus.
Apakah anak anda mengkonsumsi salah satu produk diatas? berhati-hatilah, dan jika memungkinkan ganti susu anak anda.

Bakteri berbahaya pada makanan

INILAH.COM,Jakarta - Makin banyaknya jenis makanan yang diawetkan, maka makin meningkat pula penyakit yang ditularkan melalui makanan.

Secara alami, semua makanan mengandung sejumlah kecil bakteri. Jenis bakteri ini akan berkembang biak dan menimbulkan penyakit bila makanan yang Anda konsumsi tidak diolah dan disimpan sebagaimana mestinya.

Meskipun penyebaran penyakit yang ditimbulkan bakteri makanan ini tergantung pada usia, jumlah paparan dan tingkat kesehatan seseorang, namun tidak ada salahnya bila Anda waspada.

Nah, berikut beberapa bakteri berbahaya yang terdapat dalam makanan:

Clostridium Perfringens

Bakteri ini biasanya terdapat pada daging semur atau masakan yang berkuah kental. Penyebarannya umumnya terjadi bila mangkuk atau piring yang digunakan tidak dapat mempertahankan panas makanan atau bisa juga karena Anda terlalu lama mendinginkan makanan.

Salmonella

Jenis bakteri ini terdapat pada daging ayam, susu mentah, kuning telur yang telah tercemar dan masakan yang kurang matang. Penyebarannya melalui pisau, talenan atau melalui seseorang yang terinfeksi karena kurang menjaga kebersihan.

Vibrio Vulnificius

Bakteri ini berkembang pada jenis makanan tiram dan kerang-kerangan mentah ataupun setengah matang.

Staphylococcus Aureus

Bakteri ini berkembang pada daging, salad siap saji, saus krim dan kue berisi krim. Biasanya menyebar secara langsung melalui kontak tangan atau bersin. [mor]

Awas air minum anda !!! Ilmuwan Temukan Jenis Bakteri Berbahaya di India


Para ilmuwan menemukan bakteri mematikan pada air minum di New Delhi, India. Bakteri yang kebal terhadap obat itu pertama kali ditemukan tahun 2008.
Foto: VOA
Para ilmuwan memperkirakan sekitar 100 juta warga India bepergian ke negara-negara lain di dunia dengan 'membawa' bakteri NDM-1 yang dikenal sebagai superbug.
Para ilmuwan telah menemukan jenis bakteri berbahaya dalam air minum di New Delhi, India. Bakteri itu memiliki gen yang disebut sebagai New Delhi metallo-beta-lactamase, atau NDM-1. Gen itu berbahaya karena bisa membuat bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Para peneliti dari Universitas Cardif, di Inggris memimpin penelitian itu. Mereka menemukan bakteri NDM-1 ada dalam dua dari lima puluh sampel air minum. Gen itu ditemukan dalam 11 spesies bakteri, termasuk yang menyebabkan penyakit diare seperti kolera dan disentri.
Para peneliti juga melaporkan temuan sejenis bakteri NDM-1 dari pasien-pasien medis. Para pasien tersebut berasal dari India dan negara Asia Selatan lainnya, Eropa dan Amerika Utara.
Timothy Walsh, yang memimpin penelitian NDM-1 itu di Universitas Cardiff, menjelaskan, “Gen itu terbanyak bersumber dari India, Pakistan dan mungkin Bangladesh dan Sri Lanka. Ketika orang dari tempat itu bepergian mereka turut membawanya, seratus triliun bakteri. Akibatnya ini bisa tersebar ke seluruh dunia."
Bakteri berbahaya NDM-1 atau 'superbug' ditemukan dalam air minum di New Delhi, India.
Para ahli mengatakan orang yang terjangkit bakteri NDM-1 di tubuhnya bisa tetap sehat. Yang bahaya adalah jika kita terjangkit bakteri penyebab penyakit.
Gen itu bisa memproduksi bakteri penyebab penyakit itu dan menghasilkan enzim yang mampu melawan obat antibiotik yang paling ampuh sekalipun. Antibiotik adalah obat utama mengatasi infeksi bakteri.
Para pejabat  India mengatakan air minum di negara itu aman. Dirjen Pelayanan Kesehatan Vishwa Mohan Katoch mengatakan bakteri itu biasanya tidak menimbulkan masalah. Meski begitu pejabat di India melakukan investigasi. Namun tawaran Amerika untuk membantu investigasi itu ditolak.
Timothy Walsh mengkhawatirkan hal itu. Ia mengkhawatirkan metode yang dipakai tidak tepat atau desain studi itu  lemah sehingga hasilnya tidak bisa dipercaya secara ilmiah.
Ia juga mengatakan sudah saatnya bagi masyarakat internasional untuk memaksa berbagai negara mengikuti petunjuk WHO bagi penggunaan anti biotik.

“Peneliti IPB menemukan bakteri berbahaya dalam susu formula. Pemerintah belum mau umumkan”.

 

VIVAnews –Lelaki itu tersentak saat mendengar hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang susu formula. Itu terjadi dua tahun silam, pada 2008, saat sejumlah sampel susu olahan bagi bayi itu dilaporkan mengandung bakteri berbahaya, Enterobacter sakazakii.
Tak ada informasi lebih jauh dari lembaga akademik itu. Misalnya soal merek susu apa saja yang tercemar bakteri.
Lelaki itu David Tobing, seorang pengacara. Dia beranak dua, balita yang sedang bertumbuh, dan rajin minum susu formula. Penelitian itu jelas memberi tahu bahwa ada bahaya dalam kaleng susu formula. Merasa ada informasi yang ditutupi, dia pun melayangkan gugatan.
David lalu menggugat Menteri Kesehatan ke pengadilan. Selain menteri, dia turut menggugat sejumlah pihak lain. Berurutan yang menjadi tergugat adalah IPB, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Semua pihak itu diminta membuka susu formula mengandung bakteri.
Alasan gugatan David sederhana. Sebagai orang tua yang punya anak minum susu formula, dia berhak tahu produk susu mana yang aman dikonsumsi. Apalagi, IPB telah memuat di laman website mereka pada 17 Februari 2008 tentang adanya susu yang tercemar bakteri itu.
Penelitian IPB itu diketuai oleh Dr. Sri Estuningsih. Kesimpulannya mengejutkan. Di Indonesia terdapat susu formula, dan makanan bayi tercemar Enterobacter Sakazakii. Ini bakteri berbahaya. Mikroba itu, kata Estu, menghasilkan enterotoksin tahan panas.  Bakteri itu menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada model anak mencit neonatus (anak tikus).[Lihat infografik Dicekam Susu Berbakteri]
Permohonan David Tobing itu pun dikabulkan sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui putusan tertanggal 20 Agustus 2008, majelis hakim menyatakan Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Penelitian itu sebetulnya telah dilakukan Dr Sri Estuningsih sejak 2003. [Baca juga Bertemu “Si Jahat” E. Sakazakii]. Dalam penelitiannya bertajuk “Microbiological Quality of Infant Foods in Indonesia, with special emphasis on Shigella sp., and Other Pathogenic Enterobacteriaceae” menyebutkan 12 dari 74 sampel MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) tercemar E. sakazakii.
Tak berhenti di situ. Sri Estuningsih kembali meneliti pada 2006. Dalam risalah hasil penelitian bertajuk “E. sakazakii and Enterobacteriaceae in Powdered Infant Formula and Follow on Formula”, dia juga menemukan bakteri itu.
Bahkan, temuan penelitian 2006 itu dikuatkan oleh Dr. Heinz Baker, dari Laboratory Food Microbiology, Maxmillan University Munich, Jerman, dan Dr. Steven J. Forsythe, Lab. Microbiology and Food Technology Nottingham Trent University. Mereka sepakat semua isolat dalam penelitian Dr Sri Estuningsih terbukti E. Sakazakii.
***
David Tobing menang. Meski sebagian, permohonannya itu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dua tahun silam. Melalui putusan pada 20 Agustus 2008, majelis hakim menyatakan Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hukuman bagi para tergugat, kata putusan itu, adalah secara bersama mengumumkan hasil penelitian itu. Nama dan jenis susu formula yang tercemar Enterobacter Sakazakii, harus dibuka di media massa, baik cetak maupun elektronik. Pengadilan juga menghukum para tergugat biaya perkara sebesar Rp414.000.
Para tergugat lalu banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, lagi David menang. Vonis dari pengadilan Jakarta Pusat justru dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, pada 06 April 2009.
Tak puas atas putusan itu, Menteri Kesehatan lalu mengajukan kasasi. Namun, upaya mereka kembali gagal. Putusan Mahkamah Agung menolak permohonan IPB, BPOM, dan Menteri Kesehatan. Para tergugat malah dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp500.000.
Yang menarik adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung. Masyarakat, kata majelis kasasi itu, bisa resah dengan tidak diumumkannya penelitian itu. Konsumen susu formula bisa rugi.  Penelitian menyangkut kepentingan publik harus dibuka, agar masyarakat waspada. Tak membuka hasil penelitian jenis itu, kata Mahkamah, adalah tindakan tak hati-hati dalam melayani publik.
Meski sudah diputus sejak April 2010 lalu, putusan itu baru diketahui David Tobing pada awal 2011. David pun meminta Menteri Kesehatan, IPB, dan BPOM segera mengumumkan susu formula yang mengandung bakteri.
Tapi, cerita tak berhenti di situ.
***
Meski sudah mengantongi keputusan pengadilan, permintaan David ditolak Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Menteri Kesehatan mengaku tak tahu hasil penelitian tim IPB pada 2008 itu. Demikian Endang menyatakan kepada wartawan pada 10 Februari 2011.
Alasan menteri, IPB sebagai universitas independen tak wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Kementerian Kesehatan. Sementara, IPB juga menolak mengumumkan,  dengan alasan belum resmi menerima surat keputusan Mahkamah Agung.
Menteri Endang menambahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meneliti secara berkala, dan menjamin produk susu formula di pasaran bebas bakteri itu. Artinya, susu formula di pasar aman dikonsumsi.
“Yang penting sekarang kalau bayi usia 0-6 bulan dikasih ASI. Kalau nggak bisa memberi ASI, pakai susu formula tak masalah. Asalkan airnya direbus matang,” ujar  Menteri Kesehatan, pada satu kesempatan, Ahad 13 Februari 2011.
Persoalan pun bergulir ke Senayan. Keengganan Endang lalu jadi sorotan anggota parlemen di sana. Komisi Kesehatan DPR RI lalu memanggil Menteri Kesehatan, agar hadir pada rapat dengar pendapat dengan anggota Dewan,  Kamis 17 Februari 2011.
Dalam rapat muncullah pengakuan dari IPB. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, I Wayan Teguh Wibawan, menyatakan apa yang dilakukan peneliti saat itu ialah, peneliti menyampaikan temuan itu pada produsen. “(Mereka) berkomunikasi,” ujarnya.
Menurutnya, pada 2007, peneliti sudah diminta presentasi di perusahaan itu. Peneliti secara kooperatif juga bertukar info dengan BPOM. “Kami senang BPOM merespon. Pada tahun 2008, saat BPOM mengambil sampel, IPB pun kembali melakukannya pada tahun 2009.”
Wibawan melanjutkan, bahwa penelitian itu adalah untuk mengisolasi. “Bukan untuk mensurvei (susu formula),” ujarnya. Hasil penelitian menemukan, 5 dari 22 sampel susu formula positif bakteri E. sakazakii, dan 7 dari 15 sampel makanan bayi positif E. sakazakii.
Kasus itu, kata Wibawan, menarik perhatian publik karena peneliti IPB wajib mempresentasikan hasil penelitian mereka. Itu sebabnya, oleh lembaga penelitian, abstraknya dimuat di website IPB. “Itulah yang bisa diakses oleh publik, dan kemudian mendapat perhatian,” ujarnya.
Penelitian itu rupanya berlanjut. Yang menarik, penelitian pada 2009 menelisik kembali susu formula yang dulu positif tercemar E. sakazakii. Ternyata susu yang tadinya tercemar,  menurut hasil penelitian, sudah bebas dari bakteri itu.
Sebagai catatan, seperti dikatakan BPOM dalam dengar pendapat itu, sampai Juni 2008, belum ada keharusan bagi susu formula untuk bebas E. sakazakii.
Kepala BPOM, Kustantinah, sudah mengambil langkah antisipasi atas penelitian IPB itu. Pada Maret 2008, badan itu menguji sampel 96 jenis susu formula terdaftar. Hasilnya, tak satu pun mengandung E. sakazakii.
“Maret 2008 belum ada persyaratan yang berlaku secara nasional atau internasional, bahwa susu formula bayi tak boleh ada E.sakazakii,” ujar Kustantinah. Codec sebagai standar internasional pangan, baru menetapkan larangan E. sakazakii pada Juli 2008.
Baru pada 2009, Indonesia mengeluarkan aturan susu bayi tak boleh mengandung E. sakazakii dan zero cemaran mikroba. Sebelum peraturan baru ini, di Indonesia batas maksimal cemaran hanya 4 mikroba.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Herry Suhardiyanto, membela pernyataan Wibawan. Menurutnya, penelitian itu dalam rangka pengawasan keamanan pangan. “Untuk mengungkap merek susu formula yang aman atau tidak, bukanlah kewenangan IPB. Itu kewenangan BPOM,” ujar Herry kepada VIVAnews.com.
Herry juga menghargai aksi antisipasi BPOM, yang segera melakukan pengawasan setelah hasil penelitian IPB dipublikasikan. Dia juga mengajak masyarakat percaya pada hasil penelitian Badan Pengawas itu. Bahwa, sejak 2008, tak ditemukan lagi susu tercemar E. Sakazakii.
Lalu mengapa IPB menolak membuka merek susu formula itu kepada publik?
Sang peneliti, Dr Sri Estuningsih mengatakan, penelitiannya bukan ditujukan menguji merek susu formula, dan makanan bayi yang mana saja tercemar. Melainkan, memperbaiki standar mutu pangan, dan cara praktis pencegahan bakteri itu.
Dengan kata lain, penelitian Sri, bukanlah penelitian pengawasan sebagaimana kewenangan BPOM. Tapi melainkan penelitian isolasi yang bertujuan mempelajari virulensi, dan risiko yang ditimbulkan dari E. Sakazakii.
Dalam soal menghadapi gugatan hukum itu, IPB tampaknya masuk dalam dilema etika akademik.  “Di satu sisi, kami harus menjunjung tinggi etika akademik. Di sisi lain, harus patuh hukum,” ujar Rektor IPB Herry Suhardiyanto.
***
Ketegangan dilematis itu tampaknya belum berakhir. Satu lembaga masyarakat, Sahabat Muslim, melaporkan Menteri Kesehatan, IPB dan BPOM ke Mabes Polri. Masih di poros soal yang sama, ketiga lembaga publik itu digugat karena enggan membuka merek susu yang tercemar bakteri.
LSM yang berkantor di Jakarta Timur itu, menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik, menekan ketiga lembaga publik itu segera membuka produsen merek susu yang tercemar. Di kantornya yang sederhana, LSM ini bahkan membuka posko pengaduan korban susu formula berbakteri Enterobacter sakazakii.
Seperti diungkap Ketua Sahabat Muslim, Muhammad HS, mereka bergerak karena kesal pejabat publik berkeras tak mau terbuka. “Alasannya klasik, yaitu belum menerima putusan kasasi Mahkamah Agung. Padahal putusan itu sudah setahun lalu,” ujarnya.
***
Kini, bola kembali ke kaki David Tobing.
Salinan putusan Mahkamah Agung itu telah ada di Pengadilan Jakarta Pusat. Menurut juru bicara pengadilan itu, Suwidya, salinan putusan sudah mereka terima pada Jumat 18 Februari 2011. “Kami akan meminta kepada pihak terkait untuk mengambil salinan putusan,” jelasnya.
Soal eksekusi keputusan itu, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, semuanya tergantung David Tobing, selaku penggugat pertama. “Kalau dia tidak mengajukan permohonan eksekusi, ya tidak ada eksekusi,” kata Nurhadi.
Lalu, apa kata David? Dia meminta Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengumumkan secara terbuka merek susu formula berbakteri. Rencananya Senin pekan depan, Menteri Kesehatan dan Rektor IPB akan kembali dipanggil DPR.
Artinya, jika Menteri Endang mengumumkannya, maka tak perlu ada eksekusi paksa. “Kalau mereka tidak mau mengumumkan, saya akan ambil langkah hukum,” ujarnya. (Laporan Ayatullah Humaini, Bogor|np) ( Sumber )

Guillain Barre syndrome (GBS)


 
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis.
John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.
James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai  alcoholic neuropathy  , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.
Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A note on acute ascending paralysis “  . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien yang  telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi.  Paralisis ini dikenal dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)
Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile Polyneuritis. 7)
Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl  mempublikasikan penelitian mereka yang berjudul “ On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics and tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini menemukan kelainan patologis  yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah Landry’s paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama penyakit ini sebagai Guillain – Barre Syndrome.  Sebab mengapa Strohl tidak diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui. 5)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri 3)  dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan  ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. 7)

Etiologi
            Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)1,2)
            Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. 2,3)
            Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5,8) Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. 1,5,8,12) ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. 8,12) Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS .10)
Patofisiologi
            Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. 5) Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. 4) Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin 5)
bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6)
            Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. 5)
            Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. 6)

Epidemiologi
            Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per 100.000 penduduk. 7)
            GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina , dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. 4,7)
Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada + °   penderita GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen. 7)

Gejala klinis
            GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,  parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat asendens 1,3,8,11). Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2) Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. 2,10)
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif 8), dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7) ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. 8) Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan 12) dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. 2,8) Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia . 1)
                Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. 8) Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. 11)  Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. 5) terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis. 7,8)
                Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. 11) Hipertensi terjadi pada 10 – 30 %  pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien. 10)
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, 9) dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.  4)
            Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions). 3)

Pemeriksaan Fisik
            Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. 3) Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9)

Pemeriksaan Penunjang
            Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.1,3,5,6.8) Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 / mm3  4,7,9)  pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri 1)
            Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 10)
            Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam  penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang 4,7,9,10) .Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. 7)
            Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .
            Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 1)

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4)
Gejala utama
1.      Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia
2.       Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1.      Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2.      Biasanya simetris
3.      Adanya  gejala sensoris yang ringan
4.      Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5.      Disfungsi saraf otonom
6.      Tidak disertai demam
7.      Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1.      Peningkatan protein
2.      Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik
1.      Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1.      Kelemahan yang sifatnya asimetri
2.      Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3.      Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4.      Gejala sensoris yang nyata

Diagnosis banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.4, 8, 11, 12 )
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum 4, 11 )
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia. 4, 8 12 )
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal 4, 11)

Penatalaksanaan
            Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital. 1) Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan . 1,4)
            Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa. 1)
            Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. 1) Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12)
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya.  Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE 1,4,12)
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.  IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. 1,3, 4,7,12)
            Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas  otot setelah paralisa. 4,6,12)
            Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .11)

Komplikasi
            Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 3)
Prognosis
            95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan  atau gejala sisa  seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. 3,10)
            Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien,  yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. 2,3)
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul . 3)
            3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy. 12)  


           


           
           













BAB III
PENUTUP

Guillain – Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul
20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin
Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.