![[Image: 71391_bakteri_300_225.jpg]](file:///C:/DOCUME%7E1/Donutz/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.jpg)
Bakteri yang hidup dalam usus mempengaruhi zat kimia dalam otak dan perilaku.
Ribuan bakteri hidup dalam usus manusia. Selain memberikan manfaat, keberadaan bakteri-bakteri itu, terkadang juga merugikan manusia. Sebuah penelitian terbaru mengungkap, bakteri dalam usus dapat mempengaruhi perilaku manusia.
Menurut penelitian yang dilakukan para peneliti dari Universitas McMaster, bakteri dalam usus bisa mempengaruhi zat kimia dalam otak dan mempengaruhi perilaku manusia. Temuan ini sangat penting, karena jenis penyakit perut, termasuk iritasi usus besar, sering dikaitkan dengan kegelisahan atau depresi.
Di samping itu, ada juga spekulasi yang mengatakan masalah psykologi, seperti gejala autisme, dikaitkan dengan bakteri yang terkandung dalam usus. "Hasil yang menakjubkan memberikan dorongan untuk melakukan penelitihan lebih jauh terhadap komponen mikroba penyebab penyakit perilaku," kata profesor pengobatan dan peneliti dari Michael G. DeGroote School of Medicine, Stephen Collin seperti dilansir medindia.net, Jumat 20 Mei 2011.
Collin dan asistennya, Premysl Bercik melakukan penelitian di Institut Penelitian Kesehatan Pencernaan Keluarga Farncombe (Inggris). Dalam penelitian itu, ditemukan bahwa dalam usus masing-masing orang terdapat sekitar 1.000 bakteri trillium yang hidup dengan nyaman, dan selaras dengan kehidupan manusia.
Bakteri ini melakukan sejumlah fungsi penting terhadap kesehatan, yaitu menyerap energi dari makanan, melindungi terjadinya infeksi, dan menyediakan nutrisi untuk sel dalam usus.
Namun, jika 'kehidupan nyaman' bakteri-bakteri itu mengalami gangguan, akan berdampak pula pada kondisi manusia. Setiap gangguan dapat mengancam kondisi jiwa, seperti infeksi usus besar akibat antibiotik.
Untuk membuktikan bakteri dapat mempengaruhi perilaku, peneliti mengambil seekor tikus yang bebas bakteri, kemudian memberinya bakteri dari tikus yang memiliki perilaku agresif. Hasilnya, setelah diberi bakteri tikus yang berperilaku agresif, tikus yang bebas bakteri dan semula diam itu berubah menjadi agresif dan lebih berani. Penelitian yang sama juga menunjukkan tikus yang semula agresif menjadi pasif ketika diberi bakteri dari tikus yang berperilaku pasif.
Sementara itu, penelitian sebelumnya fokus pada peranan bakteri pada perkembangan awal otak. Collin mengatakan penelitian terakhir ini mengindikasikan meskipun banyak faktor yang menentukan perilaku, sifat dan stabilitas bakteri dalam usus dapat mempengaruhi tingkah laku dan setiap gangguan. Baik gangguan yang disebabkan oleh anti biotik atau infeksi, mungkin akan menyebabkan perubahan perilaku. http://www.gangsadar.com/
Sumber :
eocommunity.com
Untuk membuktikan bakteri dapat mempengaruhi perilaku, peneliti mengambil seekor tikus yang bebas bakteri, kemudian memberinya bakteri dari tikus yang memiliki perilaku agresif. Hasilnya, setelah diberi bakteri tikus yang berperilaku agresif, tikus yang bebas bakteri dan semula diam itu berubah menjadi agresif dan lebih berani. Penelitian yang sama juga menunjukkan tikus yang semula agresif menjadi pasif ketika diberi bakteri dari tikus yang berperilaku pasif.
Sementara itu, penelitian sebelumnya fokus pada peranan bakteri pada perkembangan awal otak. Collin mengatakan penelitian terakhir ini mengindikasikan meskipun banyak faktor yang menentukan perilaku, sifat dan stabilitas bakteri dalam usus dapat mempengaruhi tingkah laku dan setiap gangguan. Baik gangguan yang disebabkan oleh anti biotik atau infeksi, mungkin akan menyebabkan perubahan perilaku. http://www.gangsadar.com/
Sumber :
eocommunity.com
Wow, Ada Baterai Seukuran Bakteri
Share
Ilmuwan dari Rice University di Houston, Texas, Amerika Serikat, mengembangkan baterai yang ukurannya enam kali lebih kecil dari bakteri. Meski super kecil ukurannya, baterai ini bisa digunakan untuk berbagai perangkat elektronik, termasuk sensor yang berfungsi menganalisa sel tunggal.
Dengan lebar 150 nanometer, baterai ini seratus kali lebih tipis dari rambut manusia dan 60 ribu kali lebih kecil dibandingkan baterai jenis AAA. Para pengembangnya mengklaim, ini adalah baterai terkecil di dunia.

Sebenarnya, baterai tersebut merupakan persilangan antara baterai dengan superkapasitor. Superkapasitor sendiri dapat menghantarkan lebih banyak energi ketimbang baterai.
Dikutip dari Cnet, Rabu (3/8/2011), baterai itu dibuat dari ribuan matrik kecil nan padat. Setiap baterai merupakan kawat nano dengan setengah dari kawat tersebut bekerja sebagai elektroda negatif dan lainnya sebagai elektroda positif.
Baterai nano ini kemungkinan besar akan lebih sering digunakan untuk keperluan medis, seperti memberikan daya untuk perangkat medis yang dapat diimplan, sensor biologis dan kimia serta jaringan mikroskopik wireless.
Hingga saat ini, baterai tersebut masih berupa prototype dan masih terus dikembangkan. Para penciptanya belum membeberkan kapan akan mengkomersilkannya. http://www.unikaja.com/
Dengan lebar 150 nanometer, baterai ini seratus kali lebih tipis dari rambut manusia dan 60 ribu kali lebih kecil dibandingkan baterai jenis AAA. Para pengembangnya mengklaim, ini adalah baterai terkecil di dunia.

Sebenarnya, baterai tersebut merupakan persilangan antara baterai dengan superkapasitor. Superkapasitor sendiri dapat menghantarkan lebih banyak energi ketimbang baterai.
Dikutip dari Cnet, Rabu (3/8/2011), baterai itu dibuat dari ribuan matrik kecil nan padat. Setiap baterai merupakan kawat nano dengan setengah dari kawat tersebut bekerja sebagai elektroda negatif dan lainnya sebagai elektroda positif.
Baterai nano ini kemungkinan besar akan lebih sering digunakan untuk keperluan medis, seperti memberikan daya untuk perangkat medis yang dapat diimplan, sensor biologis dan kimia serta jaringan mikroskopik wireless.
Hingga saat ini, baterai tersebut masih berupa prototype dan masih terus dikembangkan. Para penciptanya belum membeberkan kapan akan mengkomersilkannya. http://www.unikaja.com/
Ada Ribuan Jenis Bakteri Hidup di Pusar
Ilmuwan menemukan 1.400 bakteri yang berbeda di pusar manusia. Sebanyak 662 di antaranya adalah spesies baru. Temuan oleh proyek Belly Button Biodiversity ini menjelaskan bahwa pusar merupakan lingkungan yang menarik bagi bakteri.
Proyek yang dilakukan oleh North Carolina University di Raleigh, Amerika Serikat, ini mengambil sampel dari para relawan.
Proyek yang dilakukan oleh North Carolina University di Raleigh, Amerika Serikat, ini mengambil sampel dari para relawan.

Proyek ini bertujuan membuat orang tertarik dalam bidang mikrobiologi dan mengurangi kekhawatiran terhadap mikroba penyebab penyakit. Penelitian yang dipimpin Rob Dunn dan Jiri Hulcr ini ternyata mengungkap data baru mengenai mikroorganisme yang hidup tubuh manusia.
"Beberapa spesies yang ditemukan ternyata pernah ditemukan di laut," tulis Carl Zimmer, penulis ilmiah yang turut menyumbangkan sampel dari pusarnya, di blog.
Pada sampel yang diambil dari pusarnya, juga ditemukan spesies Georgenia, spesies yang selama ini hanya ditemukan di Jepang.
Zimmer mengaku belum pernah ke sana. Meskipun jenis mikroba baru yang ditemukan cukup banyak, kuantitasnya hanya sedikit.
"Sebanyak 40 spesies setara dengan 80 persen populasi bakteri di pusar," tulis Peter Aldhous, juga seorang penulis ilmiah yang menyumbangkan sampel.
Sumber : http://www.apakabardunia.com
kompas.com
Bakteri, Media Penyimpanan Data Masa Depan?
Senin, 10 Januari 2011 09:36

Penyimpanan data serta enskripsi informasi dalam organisme hidup (biostorage) merupakan bidang ilmu yang masih sangat muda, setelah muncul sekira satu dekade lalu. 2007 lalu, sebuah tim peneliti di Universitas Keio Jepang mengklaim telah berhasil mengkodekan persamaan Teori Relativitas Einstein (E=MC2) dalam DNA bakteri.
Mereka menilai, karena bakteri terus-menerus bereproduksi, organisme sel tunggal bisa menyimpan informasi hingga ribuan tahun, demikian seperti dilansir Straits Times.
Para mahasiswa Universitas Cina di Hong Kong pun menemukan hal serupa. Mereka berhasil mengembangkan metode memadatkan data dan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil untuk didistribusikan pada sel-sel bakteri yang berlainan. Ini dilakukan untuk mengatasi batasan kapasitas penyimpanan data.
Selain itu, mereka juga mampu memetakan DNA bakteri tersebut, sehingga informasi yang disimpan bisa ditemukan dengan mudah. Ini membuka peluang penyimpanan data selain teks, yaitu gambar, musik, bahkan video. http://www.bogor.net/
Mereka menilai, karena bakteri terus-menerus bereproduksi, organisme sel tunggal bisa menyimpan informasi hingga ribuan tahun, demikian seperti dilansir Straits Times.
Para mahasiswa Universitas Cina di Hong Kong pun menemukan hal serupa. Mereka berhasil mengembangkan metode memadatkan data dan memecahnya menjadi bagian-bagian kecil untuk didistribusikan pada sel-sel bakteri yang berlainan. Ini dilakukan untuk mengatasi batasan kapasitas penyimpanan data.
Selain itu, mereka juga mampu memetakan DNA bakteri tersebut, sehingga informasi yang disimpan bisa ditemukan dengan mudah. Ini membuka peluang penyimpanan data selain teks, yaitu gambar, musik, bahkan video. http://www.bogor.net/
Bakteri dalam Usus Penyebab Masalah Psikologi
Sabtu, 21 Mei 2011 08:39:42 WIB
Source:
blogspot.com
Ilustrasi
Baru-baru ini sebuah penelitian menyebutkan bahwa bakteri di dalam usus selain memberikan manfaat, dan terkadang juga merugikan manusia. Ternyata bakteri di dalam usus juga ditengarai dapat mempengaruhi manusia.
Sebagaimana yang disampaikan peneliti dari Universitas McMaster, Ontario, Kanada, menyebutkan bahwa bakteri dalam usus bisa mempengaruhi zat kimia dalam otak dan mempengaruhi perilaku manusia.
Temuan ini dianggap sangat penting, karena jenis penyakit perut seperti iritasi usus besar sering dikaitkan dengan kegelisahan atau depresi. Bahkan ada spekulasi yang mengatakan masalah psikologi seperti gejala autisme, dikaitkan dengan bakteri yang terkandung dalam usus.
"Hasil yang menakjubkan memberikan dorongan untuk melakukan penelitian lebih jauh terhadap komponen mikroba penyebab penyakit perilaku," kata profesor pengobatan dan peneliti dari Michael G. DeGroote School of Medicine, Stephen Collin seperti dilansir medindia.net, Jumat 20 Mei 2011.
Untuk membuktikan bakteri dapat mempengaruhi perilaku, peneliti mengambil seekor tikus yang bebas bakteri, kemudian memberinya bakteri dari tikus yang memiliki perilaku agresif. Hasilnya, setelah diberi bakteri tikus yang berperilaku agresif, tikus yang bebas bakteri dan semula diam itu berubah menjadi agresif dan lebih berani.
Selain itu, Collin dan asistennya, Premysl Bercik yang melakukan penelitian di Institut Penelitian Kesehatan Pencernaan Keluarga Farncombe (Inggris), juga melakukan penelitian yang sama. Tikus yang semula agresif menjadi pasif ketika diberi bakteri dari tikus yang berperilaku pasif. (vvn/jos) http://esq-news.com/
Selain itu, Collin dan asistennya, Premysl Bercik yang melakukan penelitian di Institut Penelitian Kesehatan Pencernaan Keluarga Farncombe (Inggris), juga melakukan penelitian yang sama. Tikus yang semula agresif menjadi pasif ketika diberi bakteri dari tikus yang berperilaku pasif. (vvn/jos) http://esq-news.com/
Bakteri Penumpas Plak Gigi
Plak (plaque) alias karang gigi adalah salah satu masalah pada gigi yang paling sering ditemui terutama pada usia remaja dan dewasa. Sikat gigi saja tidak dapat mencegah 100% terbentuknya plak, makanya dokter gigi menyarankan agar kita membersihkan plak setidaknya setiap 6 bulan sekali. Namun belakangan ini para ilmuwan Jepang berhasil mengidentifikasi suatu jenis protein yang efektif mencegah terbentuknya plak. Jadi nantinya bisa dibuat suatu jenis pasta gigi yang mengandung protein ini yang dapat menghambat pertumbuhan plak.
Seperti telah diketahui, mulut kita merupakan “sarang” bakteri, lebih dari 700 jenis bakteri mengadu nasib di situ, karena mulut kita yang senantiasa hangat dan basah merupakan tempat hidup yang nyaman untuk kebanyakan bakteri. Salah satu bakteri mulut adalah Streptococcus mutans, dia adalah salah satu komponen utama plak gigi. S. mutans menempel pada gigi membentuk lapisan tipis biofilm, yang kerjanya adalah mencerna gula-gula menjadi asam yang dapat memakan enamel dan menyebabkan terbentuknya rongga pada gigi.
Bakteri Streptococcus mutans (pink) diantara plak gigi (image from SCIENCE PHOTO LIBRARY)
Untungnya, selain ada bakteri “jahat” seperti S. mutans, ada juga bakteri “baik”, salah satunya adalah S. salivarius yang hidup di permukaan lidah dan jaringan-jaringan halus di mulut. S. salivarius diketahui dapat menghambat pertumbuhan biofilm S. mutans. Jadi nampaknya ada protein-protein tertentu yang dikeluarkan oleh S. salivarius yang menjadi “racun” bagi S. mutans.
Protein ini membuat penasaran Hidenobu Senpuku, seorang ahli biologi dari National Institute of Infectious Disease di Tokyo, Jepang. Ia dan rekan-rekannya menggunakan kromatografi untuk mengungkapkan identitas protein tersebut. Seperti kita ketahui, kromatografi merupakan metode pemisahan zat-zat pada suatu campuran berdasarkan muatan atau ukuran molekulnya, jadi metode ini dapat memisahkan protein-protein yang dihasilkan oleh S. salivarius.
Setelah protein-protein tersebut dipisahkan, masing-masing kemudian dicampurkan dengan sel S. mutans dan ditumbuhkan dalam media pertumbuhan. Nah, kultur yang pertumbuhannya paling sedikit berarti mengandung protein yang merupakan “racun” paling kuat bagi S. mutans. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, diketahui bahwa protein itu adalah FruA, suatu enzim yang dapat memecah senyawaan gula kompleks penyusun plak gigi.
Ternyata, dunia bakteri memang luar biasa, meskipun suatu jenis bakteri bisa membahayakan kita, penangkalnya pun justru datang dari golongan mereka sendiri. Salah satunya S. salivarius penghasil protein anti plak gigi ini. Dan masih banyak lagi yang menjadi penopang utama aktifitas biologis dalam tubuh kita. http://sciencebiotech.net/
Sumber: news.sciencemag.org
Hidup Bermasyarakat Ala Bakteri
Mungkin sebagian dari kita menyangka bahwa bakteri, mahluk hidup bersel satu yang sangat sederhana, hidup dan beraktifitas sendiri tanpa ada ketergantungan dan interaksi dengan bakteri lain.
Tetapi sebenarnya kehidupan bakteri tidak sesederhana yang kita pikirkan. Bahkan seperti manusia, bakteri juga bisa bermasyarakat dengan bakteri lain yang sejenis, dan bahkan dari jenis yang berbeda! Mereka berinteraksi satu sama lain, bisa mengukur populasi bakteri yang lain, dan hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam arti bermetabolisme, bergerak, berperilaku berbeda tergantung bakteri lain yang ada di sekitarnya.
Sistem interaksi ini terjadi karena bakteri juga mempunyai bahasa tersendiri yang memungkinkan mereka berinteraksi satu sama lain. Istilah ‘kerennya’ sistem interaksi ini dinamakan quorum sensing. Definisi dari quorum sensing sendiri masih berbeda-beda, tetapi semuanya sebenarnya menggambarkan apa itu quorum sensing dari titik pandang yang berlainan, jadi tidak ada yang salah tentang definisi tersebut.
Bakteri secara konstan akan bermetabolisme dan secara kontinyu mengeluarkan senyawa kimia dari dalam selnya, senyawa inilah yang dijadikan sinyal oleh bakteri lain untuk berinteraksi dan mengambil keputusan bagaimana mereka beraktifitas di lingkungan tersebut. Senyawa yang berfungsi sebagai sinyal tersebut dikenal dengan istilah autoinducer atau sumber lain menyebutnya pheromone. Konsentrasi autoinducer akan bertambah ketika populasi bakteri semakin banyak, pertambahan konsentrasi autoinducer, pada ambang tertentu bisa membuat bakteri merubah ekspresi gen sehingga pada akhirnya merubah perilaku hidup bakteri tersebut.
Perubahan pola hidup yang terjadi akibat sinyal dari autoinducer itu sangat beragam, perubahan ekspresi gen bisa membuat bakteri merubah aktifitas fisiologisnya, seperti; bersifat simbiosis, virulensi, kompetisi, melakukan konjugasi, memproduksi antibiotik, perubahan tingkat motilitas, sporulasi, dan pembentukan biofilm. Proses interaksi ini sangat diperlukan oleh bakteri untuk tetap bertahan hidup di lingkungannya.
Quorum sensing pada bakteri |
Sejauh ini, penelitian telah membuktikan bahwa bakteri gram positif dan negatif mempunyai bentuk autoinducer yang berbeda. Bakteri gram positif menggunakan senyawa golongan oligo peptida untuk berkomunikasi, sedangkan bakteri gram negatif menggunakan “acylated homoserine lactones” sebagai autoinducer.
Bagi bakteri patogen, quorum sensing ini bisa membahayakan sel atau tubuh inangnya. Ketika populasi bakteri patogen berkembang sampai level tertentu, konsentrasi autoinducer juga akan bertambah, sehingga pada level ambang batasnya, autoinducer ini bisa merubah regulasi genetik bakteri patogen yang tadinya dalam tahap laten berubah sifat menjadi sangat virulen. Hal inilah yang bisa menyebabkan tubuh inang sakit dan bahkan mati.
Fenomena quorum sensing ini sangat penting dalam dunia kesehatan dan peternakan, dimana banyak sekali bakteri patogen yang berbahaya dalam tubuh sel inang yang sewaktu-waktu berubah perilaku menjadi bersifat virulen. Pada budidaya udang, fenomena ini bisa membunuh udang dalam waktu satu hari saja.
Dalam dunia kesehatan, bagi kita mungkin hal ini tidak aneh lagi, karena kita sering sekali sakit karena infeksi bakteri patogen. Sebenarnya bakteri tersebut sudah berada dalam tubuh kita, namun dalam jumlah sedikit, mereka tidak berbahaya, namun ketika perkembang biakannya pesat, dalam jumlah populasi bakteri yang optimal dan dengan konsentrasi autoinducer yang tepat dapat merubah bakteri menjadi bersifat patogen yang sangat berbahaya bagi tubuh kita.
Saat ini masih giat dilakukan penelitian untuk mendalami fenomena quorum sensing ini, dengan tujuan untuk mencegah bakteri patogen untuk serentak merubah ekspresi genetiknya sehingga tidak membahayakan tubuh inangnya.
Penyebab Tetanus – Bakteri Clostridium Tetani

Penyebab Tetanus oleh Bakteri yang dikenal dengan nama Clostridium tetani, hidup dan berkembang pada tanah, debu, kotoran hewan, dsb. Luka yang terkontaminasi adalah mata rantai di mana bakteri tetanus berkembang biak. Luka tusuk seperti yang disebabkan oleh paku, pecahan, atau gigitan serangga adalah kasus klasik penyebab tetanus yang banyak menginfeksi. Bakteri juga dapat tertular melalui luka bakar, luka injeksi, dll.
Tetanus juga bisa menjadi bahaya untuk kedua ibu dan anak yang baru lahir (melahirkan dan melalui tunggul tali pusar). Racun kuat yang dihasilkan ketika bakteri tetanus berkembang biak adalah penyebab utama penyakit ini. Gejala tetanus yang ditimbulkan secara umum adalah kejang.
Bakteri Penyebab Jerawat: Propionibacterium Acnes
Setelah mengulas beberapa penyebab serta sebuah pengantar untuk mengatasi jerawat atau menghilangkan jerawat, kali ini saya akan mengulas mengenai bakteri yang bertanggung jawab atas kemunculan jerawat atau terbentuknya jerawat: Propionibacterium Acnes. Sebagaimana tulisan tulisan sebelum, saya masih akan berusaha menerjemahkan Tulisan atau artikel Propionibacterum Acnes dari wikipedia. Artikel aslinya dapat anda lihat di sini.
P Acnes alias Propionibacterium Acnes merupakan bakteri penyebab jerawat atau bisa juga kita sebut sebagai bakteri jerawat yang memiliki watak pertumbuhan atau perkembangbiakan yang relatif lambat. Sebelum menlanjutkan pembahasan tentang bakteri jerawat, saya akan terlebih memberikan identitas Klasifikasi Ilmiah (Scientific Classification) atau Taksonomi dari Propionibacterium Acnes.
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Species : P. Acnes
Untuk binomial name ( nama binomial) bakteri jerawat ini disebut sebagai Propionibacterium acnes (Gilchrist 1900). P. Acnes merupakan jenis bakteri yang hidup tanpa memerlukan adanya oksigen atau bisa disebut sebagai bakteri anaerobik. Organisme yang hidup tanpa memerlukan oksigen biasa juga disebut memiliki tipical atau karateristik aerotolerant. Sang bakteri jerawati ini juga merupakan bakteri jenis Gram-Positif.
Seperti yang telah saya berikan di artikel lain, Bakteri jerawat dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada jerawat. Genome dari P. Acnes dalam beberapa penelitian / study menunjukkan bahwa geberapa gen darinya memproduksi ensime yang dapat mendegradasi kulit dan protein.

P Acnes alias Propionibacterium Acnes merupakan bakteri penyebab jerawat atau bisa juga kita sebut sebagai bakteri jerawat yang memiliki watak pertumbuhan atau perkembangbiakan yang relatif lambat. Sebelum menlanjutkan pembahasan tentang bakteri jerawat, saya akan terlebih memberikan identitas Klasifikasi Ilmiah (Scientific Classification) atau Taksonomi dari Propionibacterium Acnes.
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Species : P. Acnes
Untuk binomial name ( nama binomial) bakteri jerawat ini disebut sebagai Propionibacterium acnes (Gilchrist 1900). P. Acnes merupakan jenis bakteri yang hidup tanpa memerlukan adanya oksigen atau bisa disebut sebagai bakteri anaerobik. Organisme yang hidup tanpa memerlukan oksigen biasa juga disebut memiliki tipical atau karateristik aerotolerant. Sang bakteri jerawati ini juga merupakan bakteri jenis Gram-Positif.
Seperti yang telah saya berikan di artikel lain, Bakteri jerawat dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada jerawat. Genome dari P. Acnes dalam beberapa penelitian / study menunjukkan bahwa geberapa gen darinya memproduksi ensime yang dapat mendegradasi kulit dan protein.

Bakteri Jerawat ini sebagian besar ada pada kulit banyak orang dan berkarateristik commensal (commensal merupakan sifat dari hubungan 2 organisme yang secara signifikant tidak saling dirugikan: contoh hubungan antara burung dengan pohon). Ia hidup di daerah asam lemak (fatty acid) di kantung kelenjar minyak (sebaceous glands) pada kelenjar minyak (sebum) tersembunyi di dalam pori pori kulit. Untuk lebih jelasnya perbedaan antara sebaceous glands dan sebum liat gambar yang saya ambil dari wikipedia disamping. Selain ditemukan di daerah kelenjar minyak bakteri ini juga bisa ditemukan di daerah Gastrointestinal tract (pencernaan makanan??).
Nama dari Propionibacterium Acnes diambil karena bakteri ini dapat memproduksi atau menghasilkan asam propionik (propionic acid).
Bagaimana Bakteri Jerawat ini bisa menyebabkan Penyakit?
Ketika pori pori kulit terhalang atau "tidak bisa bernafas" maka bakteri yang sifatnya tumbuh dalam lingkungan yang anaerobic (tanpa oksigen) ini menjadi tumbuh sangat cepat dan mengeluarkan banyak bahan kimia untuk merusak jaringan jaringan pada pori pori kulit, dan menjatuhkan bakteri semisal Staphylococcus aureus ke kulit yang kemudian membentuk "luka jerawat" (acne lesion)
Antibiotik : P. Acne dapat di bunuh dengan benzoyl peroxide. Bakteri jerawat ini juga sangat sensitif pada sinar ultraviolet sehingga dapat pula dibunuh dengan menggunakan sinar ultraviolet. Dapat pula di bunuh dengan sinar yang panjang gelombangnya sekitar 405 - 420 nm karena P. Acne juga sangat sensitif pada sinar jenis ini.

Nama dari Propionibacterium Acnes diambil karena bakteri ini dapat memproduksi atau menghasilkan asam propionik (propionic acid).
Bagaimana Bakteri Jerawat ini bisa menyebabkan Penyakit?
Ketika pori pori kulit terhalang atau "tidak bisa bernafas" maka bakteri yang sifatnya tumbuh dalam lingkungan yang anaerobic (tanpa oksigen) ini menjadi tumbuh sangat cepat dan mengeluarkan banyak bahan kimia untuk merusak jaringan jaringan pada pori pori kulit, dan menjatuhkan bakteri semisal Staphylococcus aureus ke kulit yang kemudian membentuk "luka jerawat" (acne lesion)
Antibiotik : P. Acne dapat di bunuh dengan benzoyl peroxide. Bakteri jerawat ini juga sangat sensitif pada sinar ultraviolet sehingga dapat pula dibunuh dengan menggunakan sinar ultraviolet. Dapat pula di bunuh dengan sinar yang panjang gelombangnya sekitar 405 - 420 nm karena P. Acne juga sangat sensitif pada sinar jenis ini.

Bakteri, Pemicu Hujan dan Badai yang Paling Kuat
Bakteri, makhluk hidup yang bertebaran di udara, ternyata menjadi elemen penting untuk terjadinya hujan, salju, bahkan badai es. Alexander Michaud dari Montana State University di Bozeman mengatakan, ia menemukan bakteri dalam jumlah besar pada pusat badai es.
Para peneliti sebelumnya percaya bahwa senyawa kimia atau bahan mineral lainnya yang berada di awan menjadi penyebab terjadinya hujan, salju, atau badai es.
Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa bakteri, bahkan jamur, diatom, dan ganggang, juga bisa menjadi pemicu terjadinya hujan. Studi yang mempelajari fenomena ini disebut bioprecipitation.
"Mineral sebelumnya diyakini sebagai zat utama di atmosfer untuk memicu terjadinya hujan. Tapi nyatanya, mineral tidak seaktif bakteri," kata Brent Christner, ahli mikrobiologi yang tengah mendalami bioprecipitation di Louisiana State University.
Agar mineral membentuk ice nuclei, kristal es di sekitar awan, dibutuhkan partikel air yang lebih dingin dari biasanya di awan, kata Christner kepada LiveScience.
Ia menambahkan, bakteri dan makhluk hidup lainnya yang berada di sekitar awan juga bisa menjadi bahan pemicu terjadinya hujan, salju, atau badai es.
Michaud sempat mengambil batu es sebesar bola golf setelah terjadi badai es hebat yang menerjang Montana pada Juni tahun lalu.

Ia kemudian membelah es itu menjadi empat bagian. Secara mengejutkan, ia menemukan bahwa jumlah bakteri terbanyak terdapat pada inti batu es tersebut.
"Bakteri ditemukan dalam biang es sebelum es itu membesar menjadi badai," kata Michaud. "Ini membuktikan bahwa pemicu terbentuknya es adalah bakteri atau partikel biologi lainnya."
Dengan menentukan suhu ketika badai es terbentuk, tim peneliti menemukan bahwa bakteri menyebabkan terbentuknya es pada suhu yang lebih hangat ketimbang biasanya.
Sebelumnya, tim yang dipimpin oleh Christner menemukan bahwa bakteri patogen Pseudomonas syringae memegang peran penting dalam pembentukan salju di seluruh dunia, termasuk di Antartika. Patogen diketahui sangat bagus dalam membentuk es pada temperatur di bawah normal maupun titik beku air.
Bakteri dilengkapi zat khusus yang mampu mengikat molekul air. Selanjutnya, bakteri dengan mudah membentuk partikel es. Ketika di darat, bakteri menggunakan es ini untuk merusak pohon. Akibatnya, kulit pohon dan selnya terbuka dan bakteri dengan mudah masuk ke dalam pohon.
Ditemukan, Bakteri Penyebab Gangguan Jiwa
Kamis, 24 Maret 2011 - 14:18 wib
Chaerunnisa - Okezone
Ditemukan, bakteri penyebab gangguan jiwa. (Foto: Getty Images)
PENELITIAN ilmiah populer dalam jurnal New Scientist telah menerbitkan hasil studi menarik yang dilakukan oleh para ilmuwan Amerika yang menyebutkan kesimpulan bertentangan tentang penyebab gangguan jiwa atau gila.
Ternyata, penyebab orang mengalami gangguan jiwa ialah bakteri berbeda yang aktif dan berkembang biak dalam tubuh mereka.
Sebagai contoh, streptokokus dapat memicu sindrom Tourette, yang akrab disebut sebuah gangguan dari sistem saraf pusat yang terkait dengan berbagai saraf tak sadar, gerakan obsesif, dan sebagainya.
Para ilmuwan mengklaim bahwa dalam kasus seperti bakteri biasanya menembus langsung ke dalam area otak yang bertanggung jawab untuk reaksi motif. Mereka memprovokasi perintah palsu menyebabkan saraf tak sadar, agresi, dan gangguan emosional. Demikian yang disitat dari Genius Beauty, Kamis (24/3/2011).
Dalam hal ini, penulis studi memiliki hipotesis bahwa "virus gila" dapat diobati dengan antibiotik biasa. Sebagai contoh, mereka terus bercerita tentang kasus pemulihan luar biasa dari salah satu pasien dengan kondisi sindrom berat Tourette.
Terapi antibakteri telah memberikan hasil nyata hanya dalam waktu dua bulan. Demikian ditulis dalam jurnal New Scientist.
Ternyata, penyebab orang mengalami gangguan jiwa ialah bakteri berbeda yang aktif dan berkembang biak dalam tubuh mereka.
Sebagai contoh, streptokokus dapat memicu sindrom Tourette, yang akrab disebut sebuah gangguan dari sistem saraf pusat yang terkait dengan berbagai saraf tak sadar, gerakan obsesif, dan sebagainya.
Para ilmuwan mengklaim bahwa dalam kasus seperti bakteri biasanya menembus langsung ke dalam area otak yang bertanggung jawab untuk reaksi motif. Mereka memprovokasi perintah palsu menyebabkan saraf tak sadar, agresi, dan gangguan emosional. Demikian yang disitat dari Genius Beauty, Kamis (24/3/2011).
Dalam hal ini, penulis studi memiliki hipotesis bahwa "virus gila" dapat diobati dengan antibiotik biasa. Sebagai contoh, mereka terus bercerita tentang kasus pemulihan luar biasa dari salah satu pasien dengan kondisi sindrom berat Tourette.
Terapi antibakteri telah memberikan hasil nyata hanya dalam waktu dua bulan. Demikian ditulis dalam jurnal New Scientist.
Ditemukan, Bakteri Pengganti Pasta Gigi
Peneliti menemukan bakteri yang justru mampu mencegah pembentukan lubang di gigi.
Senin, 4 April 2011, 17:52 WIB
Muhammad Firman

Peneliti asal Jepang menemukan bakteri yang diproduksi oleh mulut manusia yang justru mampu mencegah pembentukan lubang di gigi.
VIVAnews - Peneliti berhasil menemukan senjata baru dalam memerangi kerusakan gigi. Caranya menggunakan enzim yang diproduksi oleh bakteri mulut yang justru mencegah pembentukan plak. Temuan ini membuka peluang pembuatan pasta gigi yang memanfaatkan alat pembasmi plak milik tubuh.
Seperti diketahui, mulut manusia penuh dengan bakteri. Lebih dari 700 spesies hadir di ruangan yang hangat dan lembab, termasuk Streptococcus mutans (S. mutans), salah satu komponen utama plak.
Melekat dengan gigi dalam lapisan tipis yang disebut biofilm, S. mutans mencerna gula dan memproduksi asam yang memakan enamel dan menyebabkan gigi berlubang. Selain S. mutans, bakteri-bakteri lain merupakan tamu yang lebih ramah.
Sebagai contoh, tahun 2009 lalu, peneliti menemukan bahwa S. salivarius, jenis bakteri yang ditemukan di lidah dan jaringan lunak lain di mulut, justru menurunkan perkembangan biofilm S. mutans.
Seperti dikutip dari Sciencemag, 4 April 2011, Hidenobu Senpuku dan rekan-rekannya, biolog asal National Institute of Infectious Diseases, Tokyo, Jepang mengamati zat yang menghadirkan kemampuan mencegah lubang dari S. salivarius.
Menggunakan teknik kromatografi, metode di mana molekul dibagi berdasarkan isi atau ukuran, peneliti memisahkan tiap-tiap protein dari sampel mikroba yang diambil. Peneliti kemudian mencampur setiap protein dengan sel S. mutans dan mengukur kombinasi mana yang menumbuhkan jumlah biofilm dalam jumlah yang paling sedikit dalam wadah di lab.
Dari uji coba, diketahui bahwa protein FruA, sebuah enzim yang berfungsi memecahkan gula yang kompleks, merupakan pemblokir biofilm yang paling bertenaga.
Peneliti juga mendapati bahwa salah satu bentuk FruA, yang diproduksi oleh jamur Aspergillus niger yang tersedia di mulut juga mengatasi plak dengan sama baik. FruA ini juga bekerja dengan baik meski asam amino yang dimiliki berbeda dengan FruA yang dipunyai oleh S. salivarius. “Ini dapat mempercepat penemuan pasta gigi yang mengandung FruA,” kata Senpuku.
Meski begitu, temuan yang dipublikasikan di Applied and Environmental Microbiology tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk orang memakan seluruh permen yang ada. Pasalnya, saat peneliti meningkatkan konsentrasi sucrose, salah satu jenis gula dalam campuran yang mengandung FruA dari S. salivarius dan S. mutans, kelebihan bakteri itu dalam mencegah pembentukan biofilm menjadi musnah.
Peneliti menyebutkan bahwa hasil temuan mereka mungkin menjelaskan sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1996 lalu mengungkapkan hubungan FruA terhadap pembentukan lubang gigi pada tikus.
Mary Ellen Davey, mikrobiolog asal Forsyth Institute di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat setuju bahwa temuan ini bisa memicu pembuatan pasta gigi yang lebih baik. Namun menurutnya, itu bukan hal mudah.
“Menemukan formulasi yang menggaransi bahwa enzim itu tetap aktif setelah ia disimpan di dalam tabung dan dijual di toko obat merupakan tantangan yang besar,” ujar Davey.
Seperti diketahui, mulut manusia penuh dengan bakteri. Lebih dari 700 spesies hadir di ruangan yang hangat dan lembab, termasuk Streptococcus mutans (S. mutans), salah satu komponen utama plak.
Melekat dengan gigi dalam lapisan tipis yang disebut biofilm, S. mutans mencerna gula dan memproduksi asam yang memakan enamel dan menyebabkan gigi berlubang. Selain S. mutans, bakteri-bakteri lain merupakan tamu yang lebih ramah.
Sebagai contoh, tahun 2009 lalu, peneliti menemukan bahwa S. salivarius, jenis bakteri yang ditemukan di lidah dan jaringan lunak lain di mulut, justru menurunkan perkembangan biofilm S. mutans.
Seperti dikutip dari Sciencemag, 4 April 2011, Hidenobu Senpuku dan rekan-rekannya, biolog asal National Institute of Infectious Diseases, Tokyo, Jepang mengamati zat yang menghadirkan kemampuan mencegah lubang dari S. salivarius.
Menggunakan teknik kromatografi, metode di mana molekul dibagi berdasarkan isi atau ukuran, peneliti memisahkan tiap-tiap protein dari sampel mikroba yang diambil. Peneliti kemudian mencampur setiap protein dengan sel S. mutans dan mengukur kombinasi mana yang menumbuhkan jumlah biofilm dalam jumlah yang paling sedikit dalam wadah di lab.
Dari uji coba, diketahui bahwa protein FruA, sebuah enzim yang berfungsi memecahkan gula yang kompleks, merupakan pemblokir biofilm yang paling bertenaga.
Peneliti juga mendapati bahwa salah satu bentuk FruA, yang diproduksi oleh jamur Aspergillus niger yang tersedia di mulut juga mengatasi plak dengan sama baik. FruA ini juga bekerja dengan baik meski asam amino yang dimiliki berbeda dengan FruA yang dipunyai oleh S. salivarius. “Ini dapat mempercepat penemuan pasta gigi yang mengandung FruA,” kata Senpuku.
Meski begitu, temuan yang dipublikasikan di Applied and Environmental Microbiology tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk orang memakan seluruh permen yang ada. Pasalnya, saat peneliti meningkatkan konsentrasi sucrose, salah satu jenis gula dalam campuran yang mengandung FruA dari S. salivarius dan S. mutans, kelebihan bakteri itu dalam mencegah pembentukan biofilm menjadi musnah.
Peneliti menyebutkan bahwa hasil temuan mereka mungkin menjelaskan sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1996 lalu mengungkapkan hubungan FruA terhadap pembentukan lubang gigi pada tikus.
Mary Ellen Davey, mikrobiolog asal Forsyth Institute di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat setuju bahwa temuan ini bisa memicu pembuatan pasta gigi yang lebih baik. Namun menurutnya, itu bukan hal mudah.
“Menemukan formulasi yang menggaransi bahwa enzim itu tetap aktif setelah ia disimpan di dalam tabung dan dijual di toko obat merupakan tantangan yang besar,” ujar Davey.
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar